BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Menjelang era liberalisasi perdagangan dan
investasi, isu penanaman modal (investasi) asing mulai ramai dibicarakan. Hal
ini mengingat bahwa untuk kelangsungan pembangunan nasional sangat dibutuhkan
banyak dana. Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi tersebut tidak
dapat dicukupi dari investasi pemerintah dan swasta nasional saja. Oleh karena
itu, untuk menutupi kekurangan dana dari dalam negeri tersebut dibutuhkan modal
dari luar negeri atau modal asing.
Penanaman
modal asing (PMA) terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk di
Indonesia adalah diperuntukkan bagi pengembangan usaha dan menggali potensi
menjadi kekuatan ekonomi riil dengan memanfaatkan potensi-potensi modal, skill
atau managerial, dan teknologi yang dibawa serta para investor asing
untuk akselerasi pembangunan ekonomi negara berkembang sepanjang tidak
mengakibatkan ketergantungan yang terus-menerus serta tidak merugikan
kepentingan nasional.[1]
Jujur harus diakui bahwa sampai saat ini,
Indonesia masih memerlukan adanya transfer of technology dan transfer
of skill yang hanya dapat dicapai melalui masuknya modal asing ke
Indonesia. Keadaan ini diakui sepenuhnya oleh pemerintah, sehingga dalam TAP
MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memberikan arahan
bahwa pembangunan nasional harus dilaksanakan berdasarkan asas kemandirian,
yaitu diusahakan dari kemampuan sendiri. Sumber dana dari luar negeri yang
masih diperlukan merupakan pelengkap dengan prinsip peningkatan kemandirian
dalam pelaksananaan pembangunan dan mencegah keterikatan serta campur tangan
asing.[2]
Dengan
diizinkannya modal asing masuk ke Indonesia, maka selain bersifat komplementer
terhadap faktor-faktor produksi dalam negeri, penanaman modal asing harus
diarahkan menurut bidang-bidang yang telah ditetapkan prioritasnya oleh
pemerintah. Prioritas yang telah ditetapkan itu antara lain untuk sektor-sektor
:[3]
1. Usaha
yang membutuhkan modal swasta yang sangat besar dan/atau teknologi tinggi;
2. Usaha-usaha
yang mengelola bahan baku menjadi bahan jadi;
3. Usaha
pendirian industri-industri besar;
4. Usaha
yang sifatnya menciptakan lapangan kerja;
5. Usaha
yang menunjang peningkatan penerimaan negara;
6. Usaha
yang menjunjung penghematan devisa;
7. Usaha
yang menunjang penyebaran pembangunan daerah.
Untuk
menunjang penanaman modal di Indonesia maka pemerintah harus menciptakan iklim
investasi yang baik. Penanaman modal merupakan instrument penting bagi
pembangunan nasional dan diharapkan dapat menciptakan kepastian berusaha bagi
para penanam modal dalam dan luar negeri untuk meningkatkan dan melanjutkan
komitmennya berinvestasi di Indonesia.[4]
Partisipasi masyarakat dan aparatur hukum sangat diperlukan dalam menarik
investor yaitu dengan cara menciptakan iklim yang kondusif untuk menanamkan
modalnya.
Pertambangan
merupakan salah satu bidang dalam investasi yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah Amandemen yang isinya menyebutkan: “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.[5]
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang) yang meliputi emas,
perak, tembaga, minyak, gas bumi, batubara, dan lain-lain. Bahan galian
tersebut dikuasai oleh Negara. Menurut Bagir Manan, pengertian dikuasai oleh
Negara atau HPN (Hak Penguasaan Negara) adalah sebagai berikut:[6]
1.
penguasaan semacam pemilikan Negara, artinya
Negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak, wewenang atasnya termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya;
2.
mengatur dan mengawasi penggunaan dan
pemanfaatan;
3.
penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan
Negara untuk usaha-usaha tertentu.
Dalam
pengusahaan bahan galian (tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri
dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh
instansi pemerintah. Apabila usaha petambangan dilaksanakan oleh kontraktor,
maka kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang
bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa pertambangan,
kontrak karya, perjanjian karya penguasaan pertambangan batubara, dan kontrak production
sharing.[7]
Dalam
bidang pertambangan umum, seperti pertambangan emas, tembaga, dan perak, sistem
kontrak yang digunakan adalah kontrak karya. Menurut sejarahnya, pada zaman
Pemerintah Hindia Belanda, sistem yang digunakan untuk pengelolaan bahan galian
emas, perak, dan tembaga adalah sistem konsesi. Sistem konsesi merupakan sistem
di mana di dalam pengelolaan pertambangan umum, kepada perusahaan pertambangan
tidak hanya diberikan hak menguasai hak atas tanah. Jadi, hak yang dimililki
oleh perusahaan pertambangan adalah kuasa pertambangan dan hak atas tanah.
Sementara itu, sistem kontrak karya mulai diperkenalkan pada tahun 1967, yaitu
dimulai dengan diundangkannya Undang- Undang RI Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing jo. Undang- Undang RI nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dan Undang- Undang RI Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan jo. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sistem kontak karya mulai diterapkan
di Indonesia, yaitu sejak ditandatanganinya kontrak karya dengan PT Freeport
Indonesia sampai dengan saat ini.[8]
Sebelum
berlakunya otonomi daerah, pejabat yang berwenang memberikan izin kuasa
pertambangan, izin kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
adalah pemerintah pusat, yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral. Dengan berlakunya otonomi daerah, kewenangan dalam pemberian izin
tidak hanya menjadi kewenangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
semata-mata, tetapi kini telah menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota. Pejabat yang berwenang menerbitkan kuasa pertambangan,
menandatangani kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, gubernur, dan bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.[9]
Bupati/walikota
berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan, menandatangani
kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan apabila wilayah
kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan terletak dalam wilayah kabupaten/kota dan/atau di wilayah laut
sampai 4 mil laut. Gubernur berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa
pertambangan, menandatangani kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan terletak dalam beberapa wilayah kabupaten/kota
dan tidak dilakukan kerja sama antar kabupaten/kota maupun antara
kabupaten/kota dengan provinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak antara 4
sampai dengan 12 mil laut. Menteri berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa
pertambangan, menandatangani kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan terletak dalam beberapa wilayah provinsi dan
tidak dilakukan kerja sama antarprovinsi, dan/atau di wilayah laut yang
terletak di luar 12 mil laut.[10]
Keberadaan
perusahaan tambang di Indonesia kini banyak dipersoalkan oleh berbagai
kalangan. Hal tersebut disebabkan keberadaan perusahaan tambang itu telah
menimbulkan dampak negatif di dalam pengusahaan bahan galian. Dampak negatif
dari keberadaan perusahaan tambang meliputi :[11]
1.
rusaknya hutan yang berada di daerah lingkar
tambang;
2.
tercemarnya laut;
3.
terjangkitnya penyakit bagi masyarakat yang
bermukim di daerah lingkar tambang;
4.
konflik antara masyarakat lingkar tambang dengan
perusahaan tambang.
Walaupun
keberadaan perusahaan tambang menimbulkan dampak negatif, namun keberadaan
perusahaan tambang juga menimbulkan dampak positif dalam pembangunan nasional.
Dampak positif dari keberadaan perusahaan tambang adalah :[12]
1.
meningkatnya devisa negara;
2.
meningkatkan pendapatan asli daerah;
3.
menampung tenaga kerja;
4.
meningkatnya kondisi sosial ekonomi, kesehatan,
dan budaya masyarakat yang bermukim di lingkar tambang.
Oleh
karena itu, kontrak karya yang dibuat dalam investasi pertambangan umum harus
berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat
memberi perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan
baik kepada para pihak yang berkontrak, pemerintah, maupun masyarakat dalam
rangka memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.[13]
B. Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang penulisan yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penulis
membuat suatu batasan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Bagaimana iklim investasi asing dalam bidang
pertambangan di Indonesia?
C. Tujuan dan
Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Penulisan
Adapun
yang menjadi tujuan dalam pembahasan makalah penulis yang berjudul “Esensi dan Eksistensi Investasi Asing di
bidang Pertambangan”, yaitu:
1.
Untuk mengetahui bagaimanan esensi dan
eksistensi investasi asing di bidang pertambangan di Indonesia.
2. Manfaat
Penulisan
Berangkat
dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan makalah ini diharapkan dapat
memberi manfaat sebagai berikut:
1.
Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap
kawan-kawan mahasiswa sebagai pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
Meskipun
pertambangan umum merupakan istilah yang sudah sering digunakan dalam bidang
pertambangan, namun pengertian pertambangan umum belum dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
Defenisi pertambangan umum yang
sebagaimana diuraikan oleh H. Salim HS. adalah pertambangan bahan galian di
luar minyak dan gas bumi yang digolongkan menjadi lima golongan, yaitu:[14]
a. pertambangan
mineral radioaktif;
b. pertambangan
mineral logam;
c. pertambangan
mineral nonlogam;
d. pertambangan
batubara, gambut, dan bitumen padat;
e. pertambangan
panas bumi.
Menurut
Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengelolaan
Pertambangan Umum, pertambangan umum adalah pertambangan bahan galian selain
minyak bumi, gas bumi, dan radioaktif.[15]
Kontrak
(contract, contracten) disebut juga perjanjian. Namun menurut Subekti,
pengertian kontrak lebih sempit dari perjanjian karena kontrak mensyaratkan
bentuknya selalu tertulis, sedangkan perjanjian bentuknya selain tertulis dapat
dilakukan secara lisan. Oleh karena itu, hukum kontrak merupakan spesies dari
hukum perjanjian.[16]
Dalam
Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996
tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin
Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
telah ditentukan pengertian kontrak karya. Kontrak karya adalah suatu
perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing
atau patungan antara asing dan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan
mineral dengan berpedoman kepada Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing serta Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.[17]
Investasi
berasal dari bahasa latin, yaitu investire (memakai), sedangkan dalam
bahasa Inggris disebut dengan investment.[18]
Dalam berbagai kepustakaan hukum ekonomi atau hukum bisnis, terminologi
penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung
oleh investor lokal (Domestic investor), investor asing (Foreign
Direct Investment) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung
oleh pihak asing (Foreign Indirect Investment) melalui pembelian efek
lewat Lembaga Pasar Modal (Capital Market).[19]
Dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) dikemukakan[20]
”penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.”
Kegiatan investasi di suatu negara
berkaitan erat dengan sistem hukum di negara tersebut, khususnya dengan masalah
kepastian hukum yang nantinya akan banyak mempengaruhi masuknya investor untuk
menanamkan modalnya. Kepastian hukum itu sendiri bagi investor adalah tolok
ukur utama untuk menghitung resiko. Bagaimana resiko dapat dikendalikan dan
bagaimana penegakan hukum terhadap resiko terebut. Bila penegakan hukum tidak
mendapat kepercayaan dari investor maka hampir dapat dipastikan investor
tersebut tidak akan berspekulasi di tengah ketidakpastian. Dalam kondisi
demikian, para investor tidak akan berinvestasi baik dalam bentuk portofolio,
apalagi dalam bentuk direct investment.[21]
Secara rinci, penanaman modal asing dapat memberikan
keuntungan cukup besar terhadap perekonomian nasional, misalnya dapat berupa :[22]
1.
Menciptakan lapangan kerja
bagi penduduk tuan rumah, sehingga mereka dapat meningkatkan penghasilan dan
standar hidup mereka.
2.
Menciptakan kesempatan
penanaman modal bagi penduduk tuan rumah, sehingga mereka dapat berbagi dari
pendapatan perusahaan-perusahaan baru.
3.
Meningkatkan ekspor dari
negara tujan rumah, sehingga mendatangkan penghasilan tambahan dari luar yang
dapat dipergunakan untuk kepentingan penduduknya.
4.
Melaksanakan pengalihan
pelatihan teknis dan pengetahuan, yang mana dapat digunakan oleh penduduk untuk
mengembangkan perusahaan dan industri lain.
5.
Memperluas potensi
keswasembadaan pangan tuan rumah dengan memproduksi barang setempat untuk
menggantikan barang impor.
6.
Menghasilkan pendapatan
pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan
penduduk dari negara tuan rumah.
7.
Membuat sumber daya tuan
rumah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia lebih baik pemanfatannya
dari semula.
Indonesia yang kaya akan sumber daya
alam dan mineral sangat berpotensi untuk mengembangkan sektor pertambangan
sebagai salah satu penggerak laju pertumbuhan ekonomi bangsa. Namun Indonesia
juga tidak lepas dari berbagai kekurangan, tidak mampu mencukupi kebutuhan
sendiri baik dari segi fisik dan non fisik serta kebutuhan yang bersifat
konsumtif maupun non konsumtif. Misalnya pengadaan teknologi canggih untuk
mengolah berbagai kekayaan alam yang dimiliki. Maka sebuah keniscayaan bagi
Indonesia untuk membangun investasi di bidang pertambangan dengan jalan menarik
negara-negara lain masuk ke Indonesia untuk berivestasi mengelola mineral yang
terkandung di bumi Indonesia.
Indonesia dituntut untuk bergerak cepat
dengan stabilitas penduduk yang semakin kompleks, salah satu penyebabnya adalah
pengangguran yang merajalela. Permasalahan
ini terjadi karena kebutuhan masyarakat yang kian meningkat, sehingga
menimbulkan peningkatan kebutuhan akan sarana, energi dan bahan-bahan mentah
yang pada akhirnya menambah tekanan terhadap lingkungan dan sumber-sumber
kehidupan. Hal ini memberikan tantangan bagi institusi pemerintahan dan hukum
untuk merancang strategi dan membuat aturan yang tepat untuk menarik investor.
Sebab Indonesia dengan sumber daya mineral dan tambang yang melimpah memerlukan
sumber daya manusia dan sumber dana (investasi) untuk membangun perekonomian
dan mengelola sumber daya alam yang ada.
Investasi di bidang pertambangan sangat
berperan penting dalam usaha percepatan perbaikan ekonomi bangsa, selain untuk
menutupi kekurangan dana pembangunan, investasi ini juga akan memacu persaingan
usaha bagi kalangan pengusaha domestik. Dengan demikian arti modal asing yang
ditanamkan dalam industri pertambangan bagi pembangunan ekonomi negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
perekonomian nasional dan modernisasi struktur ekonomi nasional disamping untuk
mengelola kekayaan alam yang dimiliki.
Iklim
investasi di Indonesia yang masih pasang surut menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran
bagi para investor. Apalagi investasi pertambangan memerlukan dana yang tidak
sedikit dengan risiko yang relatif tinggi. Para investor sering merasa khawatir
akan banyaknya risiko. Kondisi ini dipengaruhi oleh situasi hukum dan politik
yang tidak menentu. Investor yang menanamkan modal di negara-negara berkembang
seperti Indonesia umumnya menuntut kesiapan negara tersebut dari aspek keamanan
dan kepastian hukum dalam berinvestasi.[23]
Namun hal ini belum sepenuhnya terwujud
dalam industri pertambangan di dalam negeri. Manajemen buruk pemerintah dalam
mengelola sektor pertambangan secara tidak langsung telah mengakibatkan
kerugian negara secara materiil. Artinya, potensi industri pertambangan dimana
merupakan salah satu penyumbang bagi perkembangan perekonomian di Indonesia,
tidak lagi secara maksimal memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara.
Pada dasarnya, permasalahan ini sudah lama menjadi kendala utama dalam bidang
pertambangan di Indonesia. Namun pemerintah tidak segera menyelesaikannya yang
menyebabkan permasalahan ini semakin berlarut-larut. Ketidaktegasan pemerintah
dalam negosiasi kontrak karya juga menjadi salah satu faktor tidak
berkembangnya investasi pertambangan dalam negeri. Padahal melalui datangnya
investor dalam mengelola sumber daya alam yang melimpah dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah Indonesia untuk pembiayaan bangsa.
Ada dua hambatan atau kendala yang
dihadapi dalam menggerakkan investasi secara keseluruhan di Indonesia,
sebagaimana diinventarisasi oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), yaitu
kendala internal dan eksternal.
-
Kendala internal, meliputi:
1. kesulitan
perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yang sesuai;
2.
kesulitan memproleh bahan
baku;
3.
kesulitan dana/pembiayaan;
4.
kesulitan pemasaran;
5.
adanya sengketa perselisihan
di antara pemegang saham.
-
Kendala eksternal, meliputi:
1.
faktor lingkungan bisnis,
baik nasional,regional dan global yang tidak mendukung serta kurang menariknya
insentif atau fasilitas investasi yang diberikan pemerintah;
2.
masalah hukum;
3.
keamanan, maupun stabilitas
politik yang merupakan faktor eksternal ternyata menjadi faktor penting bagi
investor dalam menanamkan modal di Indonesia;
4.
adanya peraturan daerah,
keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsi kegiatan penanaman
modal;
5.
adanya peraturan daerah,
keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsi kegiatan penanaman
modal;
Selain hambatan-hambatan tersebut diatas
juga terdapat hambatan lain yakni masalah perijinan, birokrasi yang rumit dan
sarat Korupsi Kolusi dan Nepotisme, nasionalisasi dan kompensasi, serta masalah
kebijakan perpajakan yang sering tumpang tindih antara pemerintah pusat dan
daerah. Tingkat
korupsi yang parah ini jelas menimbulkan disinsentif yang sangat besar bagi
investasi pertambangan, mengingat kegiatan pertambangan melibatkan sejumlah
peraturan yang diatur oleh pemerintah sehingga tingkat korupsi yang besar akan
mengurangi kepastian berusaha karena adanya ekonomi biaya tinggi (high cost
economy).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Investasi di bidang pertambangan sangat
berperan penting dalam usaha percepatan perbaikan ekonomi bangsa, selain untuk
menutupi kekurangan dana pembangunan, investasi ini juga akan memacu persaingan
usaha bagi kalangan pengusaha domestik. Dengan demikian arti modal asing yang
ditanamkan dalam industri pertambangan bagi pembangunan ekonomi negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
perekonomian nasional dan modernisasi struktur ekonomi nasional disamping untuk
mengelola kekayaan alam yang dimiliki.
Arti investasi asing di bidang
pertambangan di wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia tentunya juga peran
pemerintah sangat penting demi menjamin kepastian hukum dengan mengeluarkan
peraturan (regelling) terkait investasi di bidang pertambangan dan dalam rangka
pencapaian tujuan bangsa Indonesia yang tercantum dalam preambule Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang intinya ingin pemerataan pembangunan
nasional di semua aspek kehidupan masyarakat.
SARAN
Investasi asing
di bidang pertambangan sebenarnya menjadi pro-kontra di masyarakat kita.
Dikarenakan kurangnya transparansi dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Terlebih
banyak undang-undang terkait pengelolaan SDA dimana draftnya berasal dari pihak
asing (investor asing yang berinvestasi di Indonesia). Hal ini hanya
menguntungkan bagi investor asing dan pejabat-pejabat tertentu saja. Kontribusi masyarakat di daerah sekitar
tambang juga sangat menyedihkan baik dari sektor ekonomi maupun pendidikan.
Seharusnya, pemerintah sebagai tangan perpanjangan rakyat dalam
mencapai pemerataan pembangunan nasional selalu mengawasi perkembangan
pengelolaan SDA di bidang pertambangan. Sehingga, apabila terjadi hal-hal yang
merugikan atau akan merugikan dapat langsung diberikan tindakan tegas.
Kontribusinya terhadap masyarakat daerah sekitar tambang juga harus
diperhatikan agar tidak terjadi keterbelakangan sosial
[1]
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia dalam Menghadapi Era
Global, (Malang: Bayumedia, Publishing, 2003), hal. 8
[2] usri
Djamal, Aspek-Aspek Hukum Masalah Penanaman Modal, (Jakarta: BKPM,
1981), hal. 2.
[3]
Sumantoro, Aspek-aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia, (Bandung:
Bina Cipta, 1977), hal. 18.
[4]
www.scribd.com, Arbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa dalam Penanaman
Modal Asing, diakses tanggal 2 Februari 2011
[5]
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[6]
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
hal.18.
[7] H.
Salim HS., Hukum Pertambangan di Indonesia, Revisi III, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 1-2.
[8] Ibid.,
hal. 2.
[9] Ibid.,
hal. 3.
[10] Ibid.,
hal. 3-4.
[11] Ibid.,
hal. 5-6.
[12] Ibid.,
hal. 6.
[13]
Menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
[14]
H. Salim HS., Op.cit., hal. 10.
[15]
Pasal 1 huruf (d) Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 4 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Pertambangan Umum
[16]
Abrar Saleng, Op.cit., hal. 145
[17]
Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa
Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara telah ditentukan pengertian kontrak karya.
[18] Ibid, hlm 31
[19] Sentosa Sembiring, Hukum Investasi : Pembahasan Dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, ctk.pertama,
Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm 55.
[20] Lihat Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal (UUPM).
[21] Camelia Malik, op.cit, hlm 20.
[22]
Ibid.
[23]
Camelia Malik, op. cit, hlm 16.
mudah2n ini bisa bermanfaat bagi semua pihak
BalasHapus